Selasa, 23 Oktober 2012

Merantau dan Man Jadda Wajada


"Merantaulah, kamu akan mendapatkan pengganti kerabat dan teman"  Imam Syafii


                  Di umurnya yang ke-15 tahun, Alif, seorang anak dari sebuah kampung di pinggir Danau Maninjau memuali lembar baru dalam hidupnya.  Dia diminta ibunya untuk merantau ke Jawa, yang artinya dia harus melintasi punggung Sumantra dan Jawa menaiki bus selama 3 hari 3 malam.  Tujuan perantauannya adalah sebuah pesantren di pelosok Ponorogo, bernama Pondok Madani. Dia merantau tidak dengan sepenuh hati, penuh kegalauan, dan tidak jarang dia ingin lari dari rantau dan pulang ke kampung halaman.
                  Pengalaman merentau sungguh membentuk karakter saya sedemikian rupa sehingga melihat hidup dengan lebih bermakna dan berwarna. Merantau artinya berani meninggalkan kenyamanan rumah dan keluarga menuju tanah asing. Perjuangan ini yang mengasah jiwa dan raga seseorang untuk lebih maju
                  Alif awalnya terpuruk dan menyendiri, karena merasa asing dengan lingkungannya yang baru.  Untunglah dia punya teman-teman baru. Bersama mereka mengatasi rasa gamang, bersama mereka saling mendukung dan saling menguatkan, meneguhkan hati untuk saling mengapai impian.

                                                                             ***

                  Perantauan yang jauh, persahabatan yang lekat, serta memegang teguh akar agama dan budaya untuk berbuat terbaik.  Alif beruntung mendapatkan sebuah "mantra"  baru dalam hidupnya,  yaitu  Man Jaddah Wajada.  Sebuah syair Arab yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.  Dengan mantar ini, Alif kemudian berani untuk punya cita-cita.
                Harapan dan impian yang diingat-ingat terus dalam hati adalah jelmaan doannya. Makanya bermimpilah setinggi-tingginya, jangan pernah remehkan impian kita, karena sungguh Tuhan itu Maha Mendengar.
                Menurut saya kunci keberhasilan menggapai cita-cita adalah kombinasi yang kuat antara Man Jadda Wajada  doa, dan ikhlas. Sungguh-sungguh tanpa doa tidak lengkap. Sungguh-sungguh dan berdoa saja tidak sempurna tanpa ikhlas.
                Kesungguhan itu artinya mengusahakan apaun itu di atas usaha rata-rata orang lain. Going the extra miles. I'malu fauqa ma amiluu. Kalau melebihkan usaha diatas rata-rata, maka biasanya hasilnya juga akan di atas rata-rata, menjadi yang terbaik.
               Konon Kiai Imam Zarkasyi, sang pendiri pondok Gontor pernah mengejutkan para santrinya.  Kiai ini berdiri menghunus dua golok. Golok di tangan kanannya tampak baru dan berkilat-kilat. Sementara yang sebelah kiri tampak sudah berkarat. Golok yang berkilat-kilat ditebaskan ke sebatang pohon kayu sambil mengobrol dengan para santri. Akibatnya, ayunan golok santai dan kayu tidak terbelah.
                Sejurus kemudian, beliau ganti menghunus golok tumpul dan berkarat. Kali ini mimiknya sangat serius. Lalu dengan sepenuh tenaga, dia mengayun golok karat dengan cepat ke arah kayu.  Brak! Besi berkarat mengahajar kayu.  Tidak terjadi apapun.  tapi Kiai tidak menyerah, dia mengulang0ulang hal yang sama sampai akhirnya ..plar ..., kayu ini terbelah dihajar oleh golok berkarat itu.

                Hikmah yang ingin disampaikan belau adalah orang pintar bagai golok tajam.  Tapi kalau tidak serius dan malas-malasan, maka belum tentu berhasil.  Kepintaran akan mubazir tanpa aksi sungguh-sungguh.  Sedangkan orang yang biasa saja atau kurang pintar ibarat golok karatan.  Namun, kalau orang itu terus bekerja keras, tidak lelah mengulang-ulang usaha, maka lambat laun akan berhasil.
                Usaha yang sungguh akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja.  kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius  akan gagal.
Keberhasilan terbaik adalah keberhasilan bersama.  Bahwa kata Nabi Muhammad, sebaik-baiknya manusia adalah yang membawa manfaat buat orang lain.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar